10 Mei 2010

NAFKAH KELUARGA

بسم الله الرحمن الرحيم
MAKALAH TAFSIR AHKAM
NAFKAH KELUARGA



Oleh :
Chaca Ruswana
Arman Septianto
Rahmat Hidayatullah

MPS 2007
SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM SEBI 2010
Pendahuluan
Dewasa ini bisa kita lihat berbagai penomena yang muncul diberbagai lini kehidupan baik itu dalam lingkup keluarga, masyarakat, sampai kenegara bahkan masalah internasional disebabkan karena manusia semakin banyak meninggalkan kitabullah dan sunnah rosulunya, berangkat dari sini kami ingin menguraikan beberapa ayat dalam Al-Quran dan Sunah Rosul yang mungkin bahkan terjadi sehari-hari dalam kehidupan kita, bahkan tidak terlepas dari setiap insan yang hidup dimuka bumi terutama kepada para kepala rumah tangga ataupun yang masih calon sebagai pembelajaran.
Dalam makalah ini pemakalah mengambil beberapa ayat dalam Al Quran beserta tafsirnya, asbabu annuzul, penjelasan hokum, serta pendapat-pendapat ulama. Adapun yang akan dijelaskan dalam makalah ini sesuai dengan judul yang sudah dicantumkan diawal.
Berawal dari kisah Hindun binti Utbah pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengadukan kesulitannya karena suaminya tidak memberikan nafkah yang cukup untuknya dan anak-anaknya. Ia terpaksa mengambil harta suaminya tanpa sepengetahuannya untuk mencukupi kebutuhan. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya.
خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَ وَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
"Ambillah (dari harta suamimu) apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik" (HR Bukhari dan Muslim)
Kisah di atas mengilustrasikan kepada kita, bahwa suami memiliki kewajiban yang telah Allah tetapkan dan begitu urgen, sekaligus sebagai hak isteri yang wajib untuk dipenuhi. Kemampuan memberi nafkah ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa kaum lelaki lebih utama dari kaum wanita. Namun mungkin banyak diantara kaum muslimin yang tidak memahami masalah penting ini. Terlebih pada masa dewasa ini, di tengah maraknya upaya pengaburan norma-norma agama, banyak faktor yang ikut mempengaruhi perubahan pola pikir kaum Muslimin; kebodohan terhadap ajaran agama adalah salah satu sebab utama, disamping sikap membeo kepada orang-orang di luar Islam.
Definisi nafkah
Perbincangan mengenai hak ataupun kewajiban yang bersifat materi, seperti nafkah dibahas dalam fiqh sebagai bagian dari kajian fiqh keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah). Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infaqan ( انفق- ينفق- انفاقا) . Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan dengan “ pembelanjaan. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran. Syamsuddin Muhammad ibn Muhammad al-Khatib al-Syarbaini membatasi pengertian nafkah dengan :
هو الاخرا ج و لايستعمل ا لا فى الخيـر
“Sesuatu yang dikeluarkan dan tidak dipergunakan kecuali untuk sesuatu yang baik”
Secara terminologi, nafkah diartikan secara beragam oleh para ulama fiqh, misalnya Badruddin al-Aini mendefenisikan nafkah dengan :
عبا رة عن الا د رار على الشئ بما به بقاؤ ه
“Ibarat dari mengalirnya atas sesuatu dengan apa yang mengekalkannya”.
Dalam kitab-kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekwensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi :
طمام مقدر لزوجة وخادمها على زوج ولغيرهما من اصل وفرع ورقيق وحيوا ن ما يكفيه
“Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya” .
Defenisi yang dikemukakan oleh al-Syarkawi di atas belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah Rasul. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai berikut :
هي كفاية من يمو نه من الطعام والكسوة والسكني
“Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”.
Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik. Maka dari itu para ulama memberikan satu batasan tentang makna nafkah. Diantaranya sebagaimana disebutkan dalam Mu’jamul Wasith, yaitu apa-apa yang dikeluarkan oleh seorang suami untuk keluarganya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya. Nafkah ini juga mencakup keperluan isteri sewaktu melahirkan, seperti pembiayaan bidan atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit. Termasuk juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri.

Dasar Hukum Nafkah

215. mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.

233.. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Ayat inipun diperjelas dengan surat ath thalak ayat 7

7. hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Asbabu An Nuzul
Al Baqarah 215
Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahwa Amir bin Al Jumuah Al Ansari seorang yang telah lanjut usianya dan mempunyai banyak harta, bertanya kepada rasulullah SAW : “Harta apakah yang sebaiknya saya nafkahkan dan kepada siapa nafkah itu saya berikan ?” sebagai jawaban turunlah ayat ini . adapun surat yang lain tidak ditemukan asbabu an nuzulnya.
Kosa kata
Al Baqarah 215
مَاذَا يُنْفِقُونَ : مِنْ أَصْنَافِ أَمْوَالِهِمْ
قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ : خير كان
واليتمى : المحتاحين منهم
فإن الله به عليم : فإن الله يعلم ما تفعلونه من الخير و يوفي ثوا به
Al Baqarah 233
وَ عَلَى المَوْلُوْدِ لَهُ : عَلَى الوَالِدِ - الَذِي يُنْتِسَبُ إِلَيْهِ الأَوْلاَد
Ath Thalaq 7
لِيُنْفِقْ ذُوْسَعَةٍ مِنْ سَعَةِ : لِيُنْفِقَ عَلَى المَوْ لُوْدِ وَالِدَهُ وَوَلُيُهُ بِحَسَبِ قُدْرَتِهِ
Tafsir secara global dan uraian hukum
Dalam surat al baqarah 215 dijelaskan tentang diharuskanya kita mengetahui apasaja yang harus di nafkahkan dan kepada siapa nafkah itu diberikan selain itu juga dalam ayat ini menyebutkan harta apa aja bisa dijadikan nafkah asal kan dari jenis yang baik. Dan dalam kosa kata ada kata wal yatama bukan berarti semua anak yatim itu dapat tapi dalam ayat ini di fokuskan pada mereka yang masih lemah.
Dalam potongan ayat 233 ini menunjukan bahwa seorang ayah memiliki suatu kewajiban untuk menafkahi anaknya seperti kata وعلى المولود لهdan kewajiban yang melahirkan” walaupun ibu yng mengandung , menyusui melahirkan namun keturunan anak tetap dinisbahkan kepada bapaknya. Dan juga seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang ma’ruf , yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negri mereka masing-masing dengan tidak berlebih-lebihan atau juga terlampau kurangsesuia kemampuan dan kemudahan yang dialami oleh bapak sibayi . Dan ini menyambung kesurat ath thalak ayat 7 sebagai tafsir ayat ini menurut ibnu katsir.
Jabir mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
اتَّقُوْا اللهَ فِيْ النِّسَاءِ، فَإِنَّهُنَّ عوان عِندَكُمْ، أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَ اسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ ، وَ لَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ
"Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian".
Mayoritas ulama, diantaranya Ibnu Qudamah, berpendapat bahwa kewajiban suami memberi nafkah juga berlaku bagi isterinya dari kalangan wanita Kitabiah (Ahlul Kitab) jika ia memiliki isteri dari golongan mereka, berdasarkan keumuman nash-nash yang mewajibkan suami memberi nafkah isteri.
Surat Ath Thalak ayat 7 tidak memberikan ketentuan yang jelas dan pasti mengenai berapa besarnya ukuran nafkah seorang suami kepada isteri baik berupa batas maksimal maupun batas minimal. Tidak adanya ketentuan yang menjelaskan berapa ukuran nafkah secara pasti, justru menunjukkan betapa fleksibelnya Islam dalam menetapkan aturan nafkah.
Al-Qurthubi berpendapat bahwa firman Allah ( لينفق ) maksudnya adalah; hendaklah suami memberi nafkah kepada isterinya, atau anaknya yang masih kecil menurut ukuran kemampuan baik yang mempunyai kelapangan atau menurut ukuran miskin andaikata dia adalah orang yang tidak berkecukupan. Jadi ukuran nafkah ditentukan menurut keadaan orang yang memberi nafkah, sedangkan kebutuhan orang yang diberi nafkah ditentukan menurut kebiasaan setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan لينفق ذو سعة من سعته adalah bahwa perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada suami bukan terhadap isteri. Adapun maksud ayat لا يكلف الله نفسا الا مأ تا ها adalah bahwa orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya orang kaya dalam memberi nafkah.
Sedangkan Muhammad Ali as - Sayis berpendapat bahwa ayat لا يكلـــف الله نفسـا الا مأ تا ها mengungkapkan bahwa tidak berlaku fasakh disebabkan karena suami tidak sanggup memberi nafkah kepada isterinya. Sebab ayat ini mengandung maksud bahwa bila seseorang tidak sanggup memberi nafkah karena kondisinya yang tidak memungkinkan disebabkan kemiskinannya, Allah SWT tidak memberatkan dan membebaninya supaya memberi nafkah dalam kondisi tersebut.
Pandangan 4 imam mazhab
A. Mazhab Maliki
Infak hanya wajib untuk istri, kedua orang tua dan anak-anak saja. Mereka berdalilkan:
(Al Isra':23) وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا " dan kepada kedua orang tua berbuat baiklah" dan (Al Luqman:16) وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا "Dan dampingilah keduanya di dunia dengan cara yang ma'ruf". Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada seorang yang mengadu kepada Rasulullah bahwa bapaknya meminta-minta hartanya:
إنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَمْوَالَ أَوْلَادِكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ فَكُلُوهُ هَنِيئًا رواه أحمد
"Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah hasil upayamu sendiri dan harta-harta anak-anakmu adalah hasil upaya kamu sendiri. Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
(Al Baqarah: 233) وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف yang artinya "...dan diwajibkan atas suami memberikan rezeki dan pakaian kepada istri-istrinya."
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada Hindun: "Ambillah (harta Abu Sofyan) sesuai dengan kebutuhanmu dan anak-anakmu." (Diriwayatkan oleh Jama'ah kecuali Tirmidzi)
Sangat jelas mantuq dari dalil-dalil di atas secara zahir bahwa penerima wajib infak kedua orang tua dan anak-anak saja.
B. Mazhab Syafi'i
Ada sedikit tambahan dalam mazhab Syafi'i bahwa tidak hanya istri, kedua orang tua dan anak-anak yang wajib diberikan infaknya sebagaimana mazhab Maliki di atas, tetapi juga segala ushul yang ada di atas kedua orang tua seperti kakek dan nenek serta segala furu' yang ada di bawah anak-anak seperti cucu, cicit dan terus ke bawah. Mereka berdalilkan sebagaimana dalil-dalil Malikiyah hanya saja mereka mentafsirkan ( الوالد) lebih luas mencakup kedua orang tua dan segala ushul yang ada di atasnya dan (الأولاد) mencakup anak-anak dan segala furu' yang ada di bawahnya sebagaimana friman Allah SWT: (Al Hajj: 77) مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ dan (Al A'raf:31) يا بني آدم
C. Mazhab Hanafi
Objek wajib nafkah dalam mazhab Hanafi lebih luas lagi melebihi mazhab Maliki dan Syafi'i dimana ada penambahan, yaitu kewajiban memberikan nafkah kepada kepada saudara kandung (القرابة المحرمة) seperti kakak dan adik kandung. Mereka berdalilkan firman Allah SWT:
(An Nisa:36) وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَي
"....dan sembahlah Allah jangan engkau menyekutukannya dengan sesuatu apapun dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua."(Al Isra:26)وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّه "...dan berikanlah hak saudara-saudaramu." Akan tetapi ini hanya sebatas saudara kandung saja, adapun yang bukan saudara kandung seperti paman, sepupu dan saudara jauh lainnya tidak termasuk objek infak sebab Hanafiyah mengamalkan qiro'at Ibnu Mas'ud: ( Al Baqarah:233) و على الوارث ذي الرحم المحرم مثل ذالك "Dan atas ahli waris yang punya ikatan mahram adalah yang seperti itu pula."
D. Mazhab Hambali
Inilah mazhab yang paling luas dalam kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga, dimana tidak hanya mencakup keluarga dekat saja sebagaimana mazhab-mazhab di atas tetapi juga keluarga jauh yang masih ada pertalian warisan seperti paman, bibi, sepupu dan dzawi al-arham yang masih punya nasab terhadap ushul seperti ayahnya ibu. Mazhab Hambali tidak mensyaratkan adanya hubungan mahramiyah (saudara kandung) walaupun berdalilkan dengan dalil yang sama sebagaimana mazhab Hanafi hanya saja Hambaliyah tidak mengamalkan qiro'at Ibnu Mas'ud yang dijadikan hujjah oleh Hanafiyah. Allah SWT berfirman:(البقرة: ,233) و على الوارث مثل ذالك "Dan atas ahli waris (yang umum) mendapatkan yang seperti itu pula."
Dalam ayat di atas ahli waris berhak mendapatkan harta waris karena di dalam diri ahli waris terdapat hubungan kekerabatan. Sebagaimana harta waris wajib diberikan kepada keluarga yang masih ada hubungan kekerabatan, begitu pula nafkah wajib diberikan kepada keluarga yang masih ada hubungan kekerabatan.
Kesimpulan
• Harta yang dinafkahkan hendanya harta yang halal dan baik. Dan diutamakan memberikannya kepada ibu bapak, anak-anak dan saudara-saudara, anak anak yatim, fakir miskin dan kepada ibnu sabil.
• Seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anaknya dan ibunya sakalipun sadah bercerai dengan ketentuan anaknya masih menyusui atau umurnya masih kurang 2 tahun karena istri dapat nafkah disebabkan anaknya.
• dalam memberikan nafkah ini juga disesuikan dengan kemampuan .
• Dari perbandingan di atas dapat kita tarik benang merah bahwa para ulama fikih bersepakat untuk mewajibkan memberi nafkah kepada istri, kedua orang tua dan anak-anak dan adapun di luar itu mereka berbeda pendapat.
Penutup
Subhanallah, betapa indahnya agama Islam. Segalanya harus diletakkan pada tempatnya dan tidak boleh sembarangan. Umatnya di atur, namun tidak di….Umatnya disuruh untuk bersungguh-sungguh menjalankan perintah, tetapi tidak dipaksa ketika tidak mampu.
memberi nafkah kepada sanak keluarga memang sudah menjadi bagian dari fitrah manusia, yang kemudian dirapihkan dan didisiplinkan oleh syariat. Memberi nafkah tidak hanya program harian individu-individu umat Islam, melainkan juga seluruh manusia merasa berkewajiban untuk menafkahi keluarganya. Hanya saja mungkin di umat lain, permasalahan nafkah ini tidak tidak dibahas secara detail di "fikih-fikih" yang ada pada agama mereka. Alhamdulillah kita menjadi bagian dari pada umat yang agamanya sempurna ini.

Referensi
Al Quran nulkarim
Terjemahan tafsir ibnu katsir
Tafsir ibnu katsir
Terjemahan Tafsir Sya’rawi jilid 1
Tafsir sya`rawi
http://www.darulhasani.com
http://www.almanhaj.or.id
http://www.republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar